Tridharma: Janji Tiga Kepala, Kerja Satu Tangan

Oleh: Prof. Aripriharta

Tridharma Perguruan Tinggi โ€” ajaran suci yang digantung di dinding fakultas dan dihafal sejak orientasi mahasiswa baru. Pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Tiga pilar, tiga janji, tiga idealisme. Tapi, dalam praktiknyaโ€ฆ berapa banyak yang benar-benar berjalan bersama?

Mari kita jujur. Tridharma seringkali seperti triangel hampa suara. Pendidikan jalan, tapi hanya sebatas slide PowerPoint dan absensi daring. Penelitian hidup, tapi hanya menjelang hibah. Pengabdian? Sekadar dokumentasi foto pembagian sembako agar LPJ lancar.

Dosen mengejar poin angka kredit, bukan dampak. Mahasiswa sibuk lulus, bukan tumbuh. Kampus jadi menara gading yang sibuk mengukur kinerja dari tabel Excel, bukan dari keberanian berpikir. Kita lupa bahwa Plato membangun akademia bukan dengan proposal, tapi dengan dialog. Bahwa Ki Hadjar Dewantara tidak menunggu akreditasi, tapi langsung turun ke masyarakat.

Dalam sejarah, pendidikan selalu menjadi alat peradaban. Confucius menjadikan pendidikan sebagai jalan hidup yang membentuk karakter moral dan sosial. John Dewey percaya bahwa pendidikan adalah proses hidup, bukan persiapan untuk hidup. Freire menyatakan bahwa pendidikan sejati harus membebaskan, bukan menindas. Tapi kini, di banyak perguruan tinggi, pendidikan justru menjadi prosedur administratif yang membelenggu.

Lihat universitas-universitas terbaik dunia. Harvard mendorong kemerdekaan berpikir sejak bangku awal. MIT membentuk inovasi bukan dari laporan, tapi dari eksperimen gila yang gagal dan bangkit lagi. Oxford mengandalkan dialog Socratic antara tutor dan mahasiswa โ€” bukan ujian pilihan ganda. Dan di Asia? Tiongkok menjadi contoh paling mencolok.

Selama dua dekade terakhir, Tiongkok membangun universitas kelas dunia dengan kecepatan luar biasa. Tsinghua dan Peking University kini sejajar dengan kampus terbaik dunia. Bukan hanya karena anggaran besar, tapi karena ada visi nasional bahwa perguruan tinggi harus melahirkan inovator, ilmuwan, dan pemikir.

Bandingkan dengan kita. Kita masih sibuk memindahkan laporan ke format daring. Kita menulis jurnal bukan untuk menyumbang ilmu, tapi untuk memenuhi syarat sertifikasi. Kita mengajar bukan untuk menggugah, tapi untuk menggugurkan kewajiban. Kita mengabdi, tapi masyarakat hanya jadi latar belakang laporan.

Tridharma seharusnya bukan daftar tugas, tapi napas intelektual. Pendidikan yang mencerahkan, bukan mengulang slide tahun lalu. Penelitian yang menumbuhkan, bukan mengganti judul lama. Pengabdian yang membumi, bukan sekadar bakti sosial instan.

Ironisnya, kita lebih takut tidak terindeks Scopus daripada kehilangan nalar. Lebih khawatir tidak publish daripada tidak relevan. Seolah-olah tugas utama seorang dosen adalah menjadi manajer template, bukan perintis pemikiran.

Kalau Tridharma adalah janji, maka hari ini kita harus bertanya: siapa yang benar-benar setia? Karena jika tiga kepala itu jalan sendiri-sendiri, kita hanya jadi institusi dengan banyak rencana, tapi minim jiwa.

Tridharma tidak butuh seremoni. Ia butuh integritas. Butuh keberanian untuk tidak sekadar menggugurkan, tapi benar-benar menyalakan. Karena tugas perguruan tinggi bukan hanya mencetak sarjana, tapi menjaga nalar bangsa.

Dan jika kita gagal di sana, untuk apa lagi gelar, jurnal, dan akreditasi itu dikumpulkan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *