Sejarah Pendidikan di Indonesia: Dari Kolonial hingga Era Digital
Oleh: Prof. Aripriharta
Pendidikan di Indonesia bukanlah hasil dari garis lurus. Ia tumbuh di tengah pertarungan ideologi, penjajahan, kemerdekaan, reformasi, hingga era digital. Sistem pendidikan yang kita kenal hari ini adalah warisan panjang—dari ruang kelas kolonial yang diskriminatif hingga kampus modern yang terkoneksi global namun masih mencari jiwanya.
Masa Hindia Belanda: Pendidikan untuk Segelintir
Di era kolonial Belanda, pendidikan adalah alat seleksi sosial. Hanya kalangan elite dan anak pegawai pemerintah yang berhak mengakses sekolah formal seperti ELS (Europeesche Lagere School), HBS, dan MULO. Pendidikan dijadikan alat pelestari struktur kekuasaan, bukan alat pemberdayaan rakyat. Sementara itu, rakyat jelata hanya mengakses pendidikan melalui pesantren atau pendidikan rakyat yang tidak diakui negara.
Namun dari ketimpangan itu, muncul perlawanan intelektual. Ki Hadjar Dewantara, tokoh yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional, mendirikan Taman Siswa pada tahun 1922. Prinsipnya sederhana tapi radikal: pendidikan untuk membebaskan, bukan menindas. Ia memperkenalkan nilai-nilai budaya lokal, emansipasi, dan nasionalisme dalam ruang kelas.
Masa Kemerdekaan: Pendidikan sebagai Hak Rakyat
Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, pendidikan diakui sebagai hak setiap warga negara dan kewajiban negara, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 Pasal 31. Pemerintah membangun sistem pendidikan nasional sebagai alat pemersatu bangsa. Sekolah-sekolah didirikan di berbagai pelosok, dan kurikulum disesuaikan dengan semangat kebangsaan.
Namun, keterbatasan sumber daya, ketimpangan daerah, dan pengaruh politik membuat pendidikan belum sepenuhnya merata. Reformasi kurikulum menjadi alat kebijakan yang terus berubah seiring rezim. Mulai dari Kurikulum 1947, 1964, 1975, 1984, 1994, 2004 (KBK), 2006 (KTSP), 2013, hingga Kurikulum Merdeka—masing-masing membawa misi perubahan, tapi belum sepenuhnya menyentuh akar persoalan.
Masa Orde Baru: Sentralisasi dan Doktrinasi
Di era Orde Baru, pendidikan menjadi instrumen stabilitas. Kurikulum dipusatkan, materi diseragamkan, dan guru dijadikan corong narasi tunggal. Mata pelajaran seperti Pancasila dan Pendidikan Moral diutamakan, tapi kebebasan berpikir dibatasi. Pendidikan diarahkan untuk mencetak tenaga kerja terampil yang patuh, bukan warga negara yang kritis.
Reformasi dan Demokratisasi Pendidikan
Tahun 1998 membawa angin kebebasan. Otonomi kampus mulai diterapkan, kurikulum lebih fleksibel, dan keterlibatan masyarakat dalam pendidikan meningkat. Namun, bersamaan dengan itu, birokratisasi dan komersialisasi pendidikan ikut berkembang. Sekolah dan kampus berlomba dalam akreditasi, sertifikasi, dan ranking, terkadang mengorbankan esensi pendidikan itu sendiri.
Era Digital dan Tantangan Baru
Memasuki abad ke-21, teknologi informasi mengubah lanskap pendidikan. E-learning, platform daring, dan kecerdasan buatan mulai masuk ruang kelas. Pandemi COVID-19 mempercepat transformasi digital pendidikan. Namun, kesenjangan akses, literasi digital, dan kesiapan guru masih menjadi tantangan besar.
Kini, pendidikan di Indonesia berada di persimpangan: antara kuantitas dan kualitas, antara sertifikasi dan makna, antara kompetensi dan karakter. Meski sudah ada kemajuan signifikan, jalan menuju pendidikan yang benar-benar memerdekakan masih panjang.
Sebagaimana pernah dikatakan oleh Ki Hadjar Dewantara, “Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat menuntun.” Pertanyaannya hari ini: apakah sistem pendidikan kita benar-benar menuntun, atau malah membatasi arah tumbuh itu?