Pendidikan Kita: Sekolah yang Sibuk Menghafal, Lupa Menyalakan Nyala

Pendidikan Kita: Sekolah yang Sibuk Menghafal, Lupa Menyalakan Nyala

oleh Prof. Aripriharta, Ph.D.

Kadang saya duduk diam dan bertanya: kenapa kita sekolah? Kenapa kita belajar? Kalau jawabannya hanya supaya bisa kerja, cari uang, lalu hidup biasa-biasa saja… rasanya terlalu mahal harga yang harus dibayar untuk sekadar ikut arus.

Kita hidup di negara yang katanya menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945. Tapi coba lihat sistem pendidikan kita hari ini—apa benar itu mencerminkan nilai-nilai “kemanusiaan yang adil dan beradab” atau “mencerdaskan kehidupan bangsa” seperti yang diamanatkan? Atau justru lebih mirip pabrik—tempat anak-anak diseragamkan, diuji, lalu diberi stempel lulus?

Setiap kali kurikulum berganti—dari KTSP, K13, sampai Kurikulum Merdeka—selalu muncul harapan. Tapi sayangnya, harapan itu sering dikemas dalam file PDF, bukan dalam perubahan nyata di ruang kelas. Kita suka menyentuh permukaan: ubah istilah, ubah format, ubah slogan. Padahal isi sistemnya tetap: hafalan, angka, ranking.

Dan hasilnya? Indonesia belum pernah masuk jajaran 100 besar dunia dalam bidang sains dan teknologi. Tak ada ilmuwan kita yang dikenal global. Tak ada tokoh pemikir baru yang bisa kita banggakan seperti dulu kita bangga pada Buya Hamka, BJ Habibie, atau Ki Hadjar Dewantara.

Kita punya banyak anak cerdas, tapi sistemnya terlalu takut pada kecerdasan yang bertanya. Terlalu waspada pada anak yang berbeda arah. Mereka dianggap pembangkang, bukan pelopor. Seperti kata Plato, “Pendidikan adalah menyalakan api.” Tapi api itu seringkali dipadamkan sejak kecil karena dianggap membahayakan kedamaian kelas.

Guru? Banyak yang luar biasa. Tapi dibebani oleh tumpukan administrasi yang tidak masuk akal. Bikin RPP 14 halaman, isi logbook, update platform online, cek kehadiran daring—semua dilakukan, tapi tidak ada waktu untuk berpikir. Dosen jadi pengetik laporan, bukan pemikir. Guru jadi operator sistem, bukan inspirator kelas.

Siswa? Jadi penghafal tercepat. Bukan penanya terdalam. Mereka tahu rumus, tapi tidak tahu kenapa rumus itu penting. Mereka tahu definisi demokrasi, tapi tidak pernah diajak berdiskusi secara demokratis. Mereka lulus ujian, tapi bingung memaknai hidup.

Lalu kita heran: kenapa bangsa ini susah maju? Kenapa korupsi jalan terus? Kenapa inovasi lambat?

Jawabannya ada di ruang kelas. Di sistem yang takut dengan pertanyaan. Di kebijakan yang lebih suka data kuantitatif daripada kualitas manusia. Di semangat yang lebih suka nilai tinggi daripada pikiran jernih.

Kita tidak kekurangan gedung. Kita kekurangan nyala.

Sudah waktunya kita tidak lagi mendandani sistem ini dari luar. Tapi membongkarnya dari dalam. Kembalikan pendidikan pada intinya: membentuk manusia. Bukan hanya mencetak pekerja, bukan hanya mencetak jawaban, bukan hanya mencetak lulusan.

Karena pada akhirnya, bangsa yang besar bukan yang banyak jumlah sekolahnya, tapi yang berani membiarkan anak-anaknya berpikir bebas dan tumbuh utuh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *